Aksi kekerasan yang terjadi belakangan ini
menyisakan sejumlah persoalan serius. Salah satunya adalah kegagalan
negara melindungi dan menjamin rasa aman warganya. Pernyataan Presiden
SBY bahwa tidak ada ruang bagi anarkisme dan premanisme di negeri ini
ternyata belum menjamin terciptanya rasa aman. Kegagalan negara menindak
aksi premanisme kelompok sosial atau ormas tertentu tidak hanya
mengusik rasa aman warga, tetapi juga menggugat peran negara selaku
penjamin keharmonisan hidup bernegara.
Kita pun bertanya, di manakah negara ketika kelompok ormas tertentu
bebas menebar ancaman, intimidasi, dan kekerasan? Di manakah aparat
keamanan ketika para preman meneror warga negara? Pertanyaan ini
menggugat tugas dan peran negara dalam sebuah negara kontraktarian.
Dalam bukunya berjudul
Leviathan, Thomas Hobbes berpendapat bahwa setiap individu dalam masyarakat memiliki kepentingan-diri (
self interest)
yang ia kejar dan realisasikan. Konflik sosial dan kekerasan horisontal
terjadi ketika terdapat kesamaan tujuan yang ingin direalisasikan.
Hobbes melihat bahwa konflik antarwarga negara merupakan kenyataan
sosial yang niscaya terjadi, karena orang lain adalah ancaman bagi
perealisasian kepentingan-diri tersebut. Pernyataan klasik
homo homini lupus
dari Thomas Hobbes menggambarkan sifat dasar setiap warga negara yang
egoistis, individualistis, tertutup, kasar, dan anti sosial (Peter
Singer, 1981: 23-24).
Negara harus imparsial
Mengikuti alur argumentasi Hobbesian, negara adalah pihak ketiga yang
eksistensinya bersifat mutlak, karena menjamin bahwa perealisasian
setiap kepentingan-diri tidak saling berbenturan satu sama lain. Dengan
kekuatan pemaksanya yang lebih besar dari kekuatan individu atau
kelompok serta legitimasi kekuasaan yang didapatkannya dari masyarakat,
negara kemudian menindak tegas siapa saja yang ingin mengembalikan
keadaan ke “semua melawan semua” (
homo homini lupus).
Bagi penulis, cara beragumentasi semacam ini tidak tepat menjelaskan
konflik dan kekerasan yang terjadi di Republik ini karena dua alasan.
Pertama,
dari perspektif evolusioner, karakter manusia tidak bersifat egoistik,
kasar, individualis, tertutup dan anti sosial. Makhluk dengan
karakteristik semacam itu akan mudah punah dalam evolusi (Frans de Waal,
2011). Pada dasarnya manusia adalah makhluk altruis. Dia membuka diri,
bersedia hidup bersama, bahkan sanggup mengorbankan dirinya bagi sesama.
Sikap altruis dalam mengorbankan hidupnya demi orang lain itu
pertama-tama memang terbatas bagi keluarga inti saja, tetapi lama
kelamaan akan berkembang menjadi tindakan-tindakan yang sangat heroik
seperti membela kebenaran, menegakkan keadilan, dan sebagainya.
Potret ini menegaskan bahwa akar kekerasan massa tidak bisa dipahami
dengan mengasumsikan karakter manusia sebagai makhluk yang melulu
individualis, kasar, dan anti sosial. Ada faktor eksternal yang menjadi
pemicunya, dan untuk Indonesia bisa jadi disebabkan oleh kesenjangan
ekonomi dan penegasian hak rakyat atas tanah leluhurnya, akses kepada
pelayanan publik, pemerataan pembangunan, pelayanan kesehatan, dan
sebagainya (kasus Bima, Mesuji, Papua dan daerah-daerah lainnya).
Ideologi agama pun dapat menjadi faktor pemicu kekerasan. Sebagai
hasil kreasi budaya manusia, agama seharusnya membangun ideologinya di
atas kenyataan manusia sebagai makhluk altruis, yakni spesies yang tidak
hanya bersifat sosial, tetapi juga sanggup mengorbankan kepentingannya
demi kepentingan yang lebih besar. Agama yang ideologinya menentang
sifat dasar manusia sebenarnya melawan kodrat Sang Pencipta sendiri yang
menginginkan keselamatan bagi semua, kecuali agama mengkonstruksi
sendiri wujud Tuhan yang eksklusif, yakni Sang Pencipta yang
mempersempit cinta-Nya hanya untuk sekelompok orang.
Kedua, jika paham negara kontraktarian Hobbes dipertahankan,
penegakan hukum yang pasti dan adil seharusnya menjadi jaminan
terciptanya keamanan, keadilan, dan kesejahteraan masyarakat. Dalam
kasus di mana negara gagal mencegah kelompok tertentu melakukan
kekerasan (aksi premanisme di RSPAD Gatot Soebroto atau premanisme di
ruang sidang), sudah hampir pasti terjadi keberpihakan negara terhadap
penegakan hukum. Paham negara kontraktarian mengisyaratkan bahwa setiap
pihak yang berkonflik hanya akan menyerahkan kekuasaannya kepada negara
jika negara sebagai penjaga keamanan memiliki sikap imparsial alias
tidak memihak. Satu-satunya kepentingan negara adalah terciptanya
keamanan bagi
semua warga, dan bukan keamanan bagi kelompok tertentu saja demi perealisasian kepentingan dirinya.
Hemat penulis, dalam konteks inilah peran negara sebagai penjaga
keamanan yang imparsial itu sedang dipertaruhkan di Republik ini.
Pertanyaan di balik upaya negara menghalau aksi protes dan kekerasan
negara selalu berbunyi, “Kepentingan siapakah yang sedang dibela?” Ini
pertanyaan dasar yang menggugat imparsialitas negara sebagai penjamin
keamanan masyarakat. Kewibawaan negara merosot persis ketika masyarakat
tahu bahwa yang dibela negara adalah kepentingan pemilik modal,
kepentingan liberalisasi ekonomi, kepentingan kelompok kaya, atau bahkan
kepentingan penegak keamanan itu sendiri.
Situasi dilematis
Apa jadinya jika negara tidak sanggup menjamin keamanan warga karena sikapnya yang memihak?
Pertama,
negara dapat saja meningkatkan kekuatan pemaksa agar sanggup menindas
kelompok yang dianggapnya pengacau. Tetapi, cara ini justru menciptakan
rasa tidak aman bagi semua kelompok masyarakat. Negara bagi kelompok
tertindas akan dilihat sebagai kekuatan penanding dan sama sekali bukan
penjamin rasa aman. Sementara bagi kelompok yang dibela, negara memang
menjamin rasa aman, tetapi bersifat semu karena rasa aman tercipta
melalui akumulasi kekuatan pemaksa negara. Kita tahu bahwa akumulasi
kekuatan bersenjata tidak pernah bersifat tak-terbatas.
Kedua, pembubaran negara dapat dipikirkan sebagai jalan
keluar ketika negara ketahuan membela hanya kelompok tertentu dan
menindas kelompok lainnya. Ini langkah paling ekstrem yang secara
teoretis dapat dipahami. Masyarakat kemudian kembali ke keadaan asali (
the original state)
sampai semua pihak yang bertikai kembali membentuk negara baru demi
mencegah situasi permusuhan semua melawan semua. Jalan keluar semacam
sulit diwujudkan bukan hanya karena memiliki biaya politik yang tinggi,
tetapi juga merendahkan rasionalitas manusia. Negara modern yang
demokratis, yang dibangun berdasarkan prinsip-prinsip kebebasan,
persamaan derajat, dan rasional justru memberi peluang bagi pembaruan
dan reorientasi peran negara. Ini dilakukan melalui tekanan publik dan
pemberitaan media massa terhadap sikap berpihak negara terhadap kelompok
tertentu serta keberingasannya terhadap kelompok lainnya.
Dalam arti itu siapapun penegak hukum dan aparat keamanan yang
bersikap parsial, misalnya menindas rakyat karena membela kelompok
bermodal harus dibawa ke pengadilan dan dihukum seadil-adilnya. Dalam
negara demokratis, inilah satu-satunya jaminan yang sanggup meyakinkan
publik bahwa negara memang berdiri di atas semua pihak. Apakah kemudian
kita pantas berharap bahwa kekerasan di Bima, Mesuji, Papua, atau
pembekingan terhadap kelompok preman tertentu dapat diselesaikan dengan
menyeret aparat keamanan atau penegak hukum tertentu yang nakal ke meja
hijau? Proses demokratisasi akan membuktikan ini, tetapi yang jelas,
keberpihakan negara yang menguntungkan kelompok tertentu saja hanya akan
memperpendek usia Republik ini. Itulah ketakutan terbesar setiap kita
yang cinta Indonesia.